🦨 Arti Dari Khataman Nabiyyin Adalah

Keyakinanitu didasarkan dari dalil Al-Qur'an berikut: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (khataman nabiyyin). Dan adalah Allah Maha SesungguhnyaAl-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan (dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :"Tuhan itu tiga", berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan ia adalah Utusan Allah dan penutup para nabi " (33:40) 1.1 Dasar Pengertian. Sabda Ilahi dalam Quran Suci (33:40) itu mengandung tiga pernyataan yang saling berkaitan, yaitu : 1. Nabi Suci Muhammad saw. bukan ayah salah seorang lelaki turunan siapapun. 2. Padaayat tersebut di atas (Al-Ahzab:40), ditegaskan bahwa nabi Muhammad SAW adalah “Khataman-Nabiyyin”, yang menurut para ahli tafsir, artinya “penutup para nabi”. Maka tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Sebab dengan hadirnya Nabi Muhammad, syari’at sudah sempurna, tidak ada lagi tambahan dan tidak akan berkurang, sebagaimana DariNabi dan Rasul yang berjumlah 25 orang, Nabi pertama sekaligus manusia pertama dalah Nabi Adam as. Dan Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul yang disebut. B. Arab, Sekolah Menengah Atas. Jawaban: rasulullah SAW mendapatkan julukan khataman nabiyyin. mempercayai keberadaan nabi dan Rasul termasuk rukun iman yang ke KesalahpahamanKe-Empat: Tuduhan Bahwa ‘Wahyu’ yang Diterima Adalah Bajakan dari al-Quran. Kesalahpahaman Kelima: Mirza Ghulam Ahmad Dituduh Sebagai Kaki Tangan Inggris. Kesalahpahaman Ke-Enam: Kesalahpahaman bahwa yang tidak menerima pendakwa-an beliau adalah kafir. Kesalahpahaman Ketujuh: Tentang Arti Khatam an-nabiyyin. Buku“ Analisa Tentang Khataman Nabiyyin ” adalah salah satu karya dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Muhammad Sadiq berusaha mengungkapkan tentang kedatangan nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dengan mengambil sumber dari al-Qur’an, hadits maupun pendapat dari para sahabat dan ta’biin. Ia berpendapat bahwa pintu khatamannabiyyin artinya. Jawaban : Sebagaimana firman tersebut, Nabi Muhammad SAW mendapat gelar Khātam an-Nabiyyīn (خاتم النبيين) atau penutup para nabi dan rasul. Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, tidak akan ada lagi nabi setelah Rasulullah SAW. bentuk pecahan dari 0 25 adalah; rantai makanan yang Makadari itu banyak sekali orang memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah. Sejauh ini yang dimengerti oleh banyak kalangan di Indonesia, alasan kenabian Mirza Ghulan Ahmad adalah menyangkut "khataman-nabiyyin" atau penutup para Nabi. Menurut tafsir Ahmadiyah, kata "khatam" bukan bermakna "penutup" melainkan "cincin". . KHATAMUN-NABIYYIN Oleh KH. S. Ali Yasir “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang lelaki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup para Nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” Berakhirnya Silsilah Jasmani Ayat Suci tersebut menerangkan dua hal yang saling berhubungan, yaitu telah berakhirnya silsilah Nabi Muhammad saw. secara jasmani, dan akan tetap berlangsung terus silsilah rohani beliau sepanjang masa, sebab beliau adalah Utusan Allah yang terakhir. Setiap Utusan adalah bapak rohani bagi misalnya Nabi Musa AS. adalah bapak umat Yahudi, Isa Almasih bapak umat Kristen, Siddharta Gotama bapak umat Budhis, Konghucu bapak umat Konfusianis dan Muhammad saw. adalah bapak umat Islam. Oleh karena itu isteri-isteri beliau disebut pula ibu orang-orang beriman 336 – yakni umat Islam- yang karena itu haram hukumnya dinikahi oleh umat Islam sepeninggal Nabi Suci untuk selama-lamanya 3353, sebagaimana diharamkannya seseorang mengawini ibunya sendiri 423, yakni janda bapaknya. Asbabun-nuzul ayat memperjelas makna firman Allah tersebut. Siti Khadijah memiliki seorang budak lelaki bernama Zaid. Setelah beliau dinikahi oleh Nabi Suci, Zaid dibebaskan, lalu diangkat sebagai anak angkat Nabi Suci. Zaid termasuk lima sahabat pertama. Setelah Hijrah ke Madinah, Nabi Suci mengusulkan agar Siti Zainab binti Jahsy saudara sepupu beliau dinikahkan dengan Zaid. Usul Nabi tersebut diterima, meski bertentangan dengan kehendak Zainab dan keluarganya. Ternyata pernikahan yang tak kafa’ah sederajad ini gagal. Zainab rupawan, bangsawan dan masih muda, sedang Zaid berkulit hitam, bekas budak dan jauh lebih tua. Akibatnya “fatal” bagi Zainab. Dia lebih menderita lagi karena disebut “janda, bekas istri seorang budak” suatu status yang hina di masyarakat Arab yang belum bebas dari budaya jahiliah. Cara mengangkat martabatnya tiada lain adalah Nabi Suci mengawini beliau, tetapi Nabi Suci takut akan dampak negatifnya, yakni fitnah, pelecehan dan penodaan nama baik beliau, sebab menurut tradisi jahiliyah kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung; mengawini janda anak angkat sama dengan mengawini janda anak kandung. Atas petunjuk Allah Nabi Suci menikahi Zainab 3337. Dengan demikian Siti Zainab terangkat derajatnya, karena perkawinan itu beliau menduduki tempat mulia, baik dimata Allah maupun mata manusia, yakni sebagai ibu orang beriman. Tetapi orang-orang kafir dan munafik -yang secara rohani adalah tuli, bisu dan buta 218- memaki dan menghina Nabi Suci saw. dengan tuduhan telah mengawini menantunya sendiri. Caci maki dan penghinaan yang berlangsung terus sampai sekarang ini ditangkis Ilahi dengan turunnya ayat suci 3340 di atas. Penegasan “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang 1elaki kamu” berarti Zaid bukanlah anak Nabi Suci Muhammad saw. tetapi anak Haritsah. Sejak saat itu, Zaid dipanggil anak Haritsah, sesuai dengan syariat Islam yang menganjurkan agar memanggil seseorang itu dengan menyebut ayah kandungnya 335, bukan ayah angkatnya; sebab kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak kandung 334. Silsilah Rohani Abadi Terputusnya silsilah jasmani Nabi Suci seakan-akan merupakan suatu cacat, maka orang-orang kafir mengejek beliau dengan sebutan abtar terputus, tetapi Qur’an Suci justru menyebut orang-orang kafirlah yang abtar 1083. Turunnya ayat 33 40 tersebut menjawab ejekan kaum kafir tersebut, karena menyatakan bahwa “Muhammad… … … dia itu Utusan Allah”. Seorang utusan Allah adalah bapak rohani bagi umatnya. Hubungan rohani nilainya lebih baik dan mulia daripada hubungan jasmani, maka dari itu “Nabi itu lebih dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri” 336. Sejarah menjadi saksi tatkala ayat ini diturunkan anak-anak rohani Rasulullah saw., telah berjumlah ratusan ribu jiwa sekarang tidak kurang dari 1,3 milyar – sedang kaum kafir telah terputus dan benar-benar terputus, karena anak-anak mereka telah menjadi anak-anak rohani Nabi Suci yang prosesinya dinyatakan dalam 1101-3. Kebapakan rohani Nabi Suci tak berakhir, berlangsung terus sampai hari Kiamat, sebab beliau sdalah Khatamun-Nabiyyin artinya segel penutup para Nabi, sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Jadi silsilah jasmani beliau terputus-karena tak beranak lelaki tetapi silsilah rohani abadi dikaruniakan kepada diri beliau. Sebab beliau segel penutup para nabi. Disinilah salah satu keagungan beliau dibanding dengan para Nabi sebelumnya yang silsilah rohaninya hanya berlangsung untuk sementara waktu saja 1338-39, misalnya Nuh hidup di tengah-tengah kaumnya selama alfa sanatin illa khamsina ama seribu tahun kurang lima puluh tahun alias 950 tahun 29l4. Ini umur kenabian atau syariatnya, bukan umur pribadi orangnya. Arti Khatamun-Nabiyyin Berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. dinyatakan dengan kata “khatam” yang bisa dibaca “khatim” seperti tertulis dalam Mushaf menurut riwayat Warsy dari Nafi’al- Madani. Antara keduanya ada perbedaan. Kata khatam berarti segel atau bagian terakhir atau penutup digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian dan pelestarian penganugerahan nikmat Ilahi 53; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah yang paling mulia diantara semua nabi. Jadi kata khatam mengandung arti ganda yakni “yang paling mulia” dan “bagian terakhir” atau “penutup”. Sedang kata khatim artinya bagian terakhir atau penutup; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi, yang dipertegas oleh Nabi Suci “la nabiyya ba’di” artinya “tak ada Nabi sesudahku” Hr. Bukhari. Menurut Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Kedua arti tersebut diterima sebagai kebenaran oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana dinyatakan dalam tulisan-tulisan beliau antara lain sbb “Adam, diciptakan dan Rasul-rasul diutus, setelah semuanya, Nabi Muhammad saw. diciptakan yang menjadi segel penutup para Nabi dan yang paling utama dari sekalian Nabi”Haqiqatul-Wahyi, 1907, Kemuliaan Nabi Suci atas semua Nabi telah berulangkali beliau tulis dalam berbagai buku dan selebaran, juga beliau sampaikan secara lisan dalam berbagai khotbah dan perdebatan. Demikian pula tentang berakhinya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. Pernyataan beliau antara lain sebagai berikut “Karena semua itu kenabian berakhir pada Nabi Suci saw. dan begitulah senantiasa, sesuatu yang ada awalnya pasti ada akhirnya” Al-Washiyyat, hlm. 10. Jika menjelaskan berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci saw. seringkali beliau tambahkan kalimat “sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun Nabi baru” misalnya dalam Ayyamush-Shulh 1989 sbb “Allah hersabda Ia adalah Utusan Allah dan Khataman Nabiyyin’. Dan itu dalam Hadits Tak ada Nabi sesudahku’…….Bila Nabi lainnya datang, apakah itu Nabi baru atau lama, bagaimana mungkin Nabi Suci kita sebagai Khataman-Nabiyyin?” dari Ruhani Khaza’in jilid 14, hlm 308-309. Pada halaman berikunya beliau tulis sbb”Dengan menyatakan Tidak ada Nabi sesudahku’ Nabi Suci menutup pintu secara mutlak kepada datangnya seorang Nabi baru atau datang kembalinya seorang Nabi lama” Ibid, hlm. 400. Penegak Akidah Dari anak kalimat “Sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru” tersebut mengandung petunjuk bahwa beliau adalah penegak akidah berakhirnya kenabian secara mutlak pada diri Nabi Suci Muhammad saw. secara syar’i. Tanpa anak kalimat tersebut doktrin Islam Khatamun-Nabiyyin yang menjadi landasan kesatuan umat manusia menjadi kelabu dan mengganggu kesatuan umat manusia, termasuk antar golongan umat Islam. Mengapa? Karena umat Islam terjebak pada dua pendapat ekstrim yang saling berlawanan dalam memahami teks profetik-eskatologik yang sama, yakni tentang datangnya Nabiyullah Isa dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Nawwas bin Sam’an. Pada umumnya para ulama Islam penentang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mahdi dan Masih Mau’ud -termasuk MUI- berpendapat bahwa, setelah Nabi Suci saw. akan datang seorang Nabi lama, yaitu Nabi Isa dari bani Israel yang dilahirkan oleh Siti Maryam sekitar dua ribu tahun yang lalu, yang sekarang mereka yakini masih hidup, di langit; kedatangan beliau untuk melaksanakan syariat Nabi Muhammad saw. Jadi kedatangannya sebagai Nabi tanpa syariat. Pendapat ini muncul karena teks “Nabiyullah Isa” mereka pahami secara hakiki, baik kata nabiyullah maupun nama Isa. Maka dari itu beliau bertanya Apakah mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah menetapkan Nabi Muhammad saw. sebagai Khatamul-Anbiya’ tanpa perkecualian” Hamamatul-Busyra, hlm. 20. Jawaban mereka biasanya “Nabi Isa pengangkatannya sebelum Nabi Suci saw. dan kedatangannya hanyalah untuk menegakkan syariat Nabi Suci”. Mereka memelintir pokok masalah, dari masalah ada atau datangnya, seorang Nabi dialihkan kepada masalah pengangkatan kenabian. Doktrin berakhirnya kenabian menjadi kelabu, meski mereka teriak-teriak qathi’i. Teriakan mereka tidak memperjelas pokok masalah, tetapi justru menambah kelabunya pokok masalah, karena mengundang keresahan dan kekisruhan, bahkan sering melahirkan perbuatan anarkis. Selain penentang Masih Mau’ud dari sebagian pengikut beliau pun ada pula yang berpendapat bahwa beliau seorang Nabi tanpa syariat, seperti halnya pendapat para penentang beliau. Hanya bedanya, yang datang setelah Nabi Suci adalah Nabi baru, bukan Nabi lama Isa Almasih, sebab beliau telah wafat. Pendapat ini muncul sebab teks profetik-eskatologik Nabiyullah mereka pahami secara hakiki, sedang nama Isa secara majasi. Jadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa majasi, beliau seorang nabi hakiki tetapi tanpa syari’at. Di sinilah sumber pertentangannya, padakata Isa, jika dipahami secara hakiki menunjuk Nabi lama dan jika dipahami secara majasi menunjuk Nabi baru. Diantara dua pendapat saling berlawanan itu mengandung petunjuk bahwa salah satu benar yang lain salah atau kedua-duanya terakhir itu yang benar, yakni keduanya salah. Benarnya bagaimana? Benarnya sbb kata Nabiyyullah dipahami secara majasi demikian pula nama Isa, juga dipahami secara majasi. Mengapa harus dipahami secara majasi? Sebab teks itu suatu profetik atau nubuat. Dengan cara demikian mereka yang menolak boleh saja disebut sesat tetapi tidak sampai kafir atau murtad, sebab keduanya masih mengimani profetik -eskatologik itu dan disamping itu kalimat syahadat yang diucapkan oleh kedua golongan itu menjadikan mereka sebagai anak-anak Muhammad sang Khatamun-Nabiyyin. Inilah ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang sejati, yang dipegang teguh oleh pengikut beliau kaum Muslim Ahmadi Lahore. Belum saatnyakah umat Islam bersatu? KH. S. Ali Yasir. Beri peringkat Filed under Islamologi Tagged Studi Islam Memaknai Ayat Khataman Nabiyyin 1 Saya coba mengulas salah satu Ayat pada Al-Ahzab tepatnya ayat 40 yakni mengenai Nabi Muhammad SAW apakah sebagai wakhaatama alnnabiyyiina ataukah walaakin rasuula allaahi wakhaatama alnnabiyyiina. Untuk menjelaskan kedua macam pendapat ini akan dikupas satu persatu ayat tersebut. Haruslah dimengerti, bahwa kedatangan AlQuran ke atas dunia adalah untuk menghilangkan segala macam perselisihan dan pertengkaran, dan untuk menghilangkan segala macam kesamaran dan keraguan yang mungkin timbul dalam kalangan ummat manusia, mari kita lihat baik-baik apa yang diterangkan sebelum dan sesudah ayat Khataman Nabiyyin. Perkataan “khataman nabiyyin” saja, belumlah dapat dibentuk satu kalimah yang dari padanya dapat dijadikan sebagai satu pengertian, atau satu kabar. Susunan perkataan “khataman nabiyyin” itu adalah murakab, yang dinamakan dengan “murakab idhafi” yang tidak dapat dijadikan sebagai hukum atau satu kejadian yang menjadi satu dalil. Satu mufrad singular yang belum menjadi kalimah sentence, dan hubungannya belum di­nyatakan sebagai satu hukum atau undang-undang, tidak dapat dijadikan sebagai satu dalil oleh seseorang, dan tidak pula dapat dijadikan sebagai mukaddimab bagi sesuatu dalil. Yang benar ialah, supaya ayat itu disebutkan dalam bentuk keseluruhan­nya, dibacakan sebelum dan sesudah ayat itu, dan ayat-ayat yang lain harus diperhatikan pu­la supaya bisa dimengerti untuk apakah perkataan “khataman nabiyyin” itu diletakkan dalam kalimat, dan apa maksudnya? Keseluruhan ayat itu berbunyi “Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum Walakin Rasulallah Wa khataman nabiyyin. Wa kanallahu bikuili syai’in alima”. Ayat ini terdiri empat bagian 1 Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum. 2 Walakin Rasulallah. 3 Wa khataman nabiyyin. 4 Wa kanallahu bikuili syai’in alima. Bagian pertama dari ayat ini sudah jelas dan sudah terang maksudnya, bahwa Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki kamu. Hubungan ayat ini dengan ayat yang sebelumnya, bahwa telah terjadi perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Zainabrta yang telah diceraikan oleh Zaid sebagai suaminya. Pada waktu sebelumnya Zaid itu telah diangkat sebagai anak oleh Nabi Muhammad SAW, sedangkan Zaid bukanlah berasal dari nutfah beliau dan hanya sebagai anak angkat saja. Disebabkan perkawinan beliau dengan bekas isteri anak angkat beliau itu, maka dikhawatirkan sangat, bahwa jangan-jangan menjadi satu celaan dari pihak lain, bahwa beliau telah mengawini menantu beliau yang tidak dibenarkan oleh adat orang-orang Quraish Arab di masa itu. “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kandung kamu. Yang demikian itu adalah omongan kamu dengan mulut kamu” Al­Ahzab 5 Menyamakan anak angkat dengan anak kandung sendiri dalam segala hal, tidaklah dibenarkan Tuhan. Jangankan Zaid, sedangkan dari golongan laki-lakimu yang begitu banyak, seorang pun tidak ada yang menjadi anak dari Muhammad, dan beliau bukanlah bapak kamu. Kenapa Muhammad tidak bolen kawin dengan seorang janda yang sudah diceraikan oleh suaminya, apalagi Zaid itu bukanlah anak kandung dari Muhammad? Ini adalah penjelasan dari ayat bagian pertama. Perkataan “Lakin” diperguna­kan untuk menghilangkan keraguan yang timbul pada kalimat yang sebelumnya. Bagian kedua dari ayat tadi “walakin RasulaIlah” tetapi adalah utusan Allah. Dalam bagian ayat ini terdapat perkataan “lakin” yang artinya “tetapi”. Selamanya perkataan “lakin” dipergunakan untuk menghilangkan sesuatu kesamaran atau keraguan yang timbul dalam kalimat yang sebelumnya. Dalam Muslim Isubut diterangkan tentang perkataan “lakin” begini “Lakin khafifatan was­taqilatan lil istidraki. Wahua raf’ut tawahhunii nasyi-u anis­sabiqi. Wasyartuhul ikhtilafu kaifan wa ma’nan”. “Lakin” itu baik ia khafifah atau staqilah, adalah gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, yaitu menghilangkan keraguan yang terjadi dalam kalimat yang sebelumnya. Dan syaratnya ada­lah berlawanan dalam segi kaifiat dan makna. Dalam kitab Syarah Jami diterangkan “Wa lakin lil istidraki. Wama’nal istidraku raf’u tawahhamu yatawalladu minal kalamil mutaqaddamu tawassatu baina kalamaini mutaghayyaraini nafyan wa isbatan ma’nan ai taghayyuran ma’nawiyyan. Waddaruriyyu hua lima’ nawiyyin”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, ialah menghilangkan keraguan yang timbul atau terjadi pada kalimat yang sebelumnya. Ia terletak diantara dua buah kalimat yang berlainan dalam hal mengiakan dan menidakkan menurut arti dan makna, dan yang terpenting dalam segi makna. Dalam kitab Tahzibut Taudhih juz pertama, halaman 79 ada tertulis “Lakin wahia lil istidraki. Wahua ta’qibul kalam binnafyi ma yatawahhamu tsubutuhu au bi itsbati ma yatawahhamu nafyuhu. Famitsalul awwali Aliyyun syuja’un lakinnahu bakhilun. Rufi’at bilakin tawahhamu annahu karimum limulazimatil karamusy syuja’ah. Wamitsasus tsani qauluka Ibrahimu jubbanun, lakinnahu karimum. Atsbata bihal karamul lazi yatawahhamu nafyuhu min itsbatil jubnu”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Ia mengiringi kalimat dengan nafi apa yang diragukan oleh tsubutnya. Atau meitsbatkan menetapkan apa yang diragukan oleh nafinya tidaknya. Misal yang pertama seperti Si Ali orang berani, tetapi, ia kikir. Dengan perkataan “lakin”, maka hilanglah sangka-sangka yang menganggap ia seorang yang pemurah, karena menurut yang biasa, apabila ada sifat keberanian, sudah barang tentu mesti ada sipat pemurah. Misal kedua Ibrahim seorang pengecut, tetapi ia pemurah. Dengan perkataan “lakin” maka hilanglah syak wasangka buruk yang terdapat pada perkataan pengecut. Dan sekarang ia menjadi orang yang terhormat. Tentang ayat yang bersangkutan. Sekarang datang pertanyaan, keraguan apakah yang terjadi dalam ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, yang menyebabkah perlu didatangkan perkataan “lakin” sesudahnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, adalah; 1 Jika benarlah nabi Muhammadsaw bukan bapak dari salah seorang laki-laki, tetapi kenapa ayat 6 dalam surat Al-Ahzab ini juga mengatakan “Wa azwajuhu ummahatukum” Isteri-isteri Muhammad adalah ibu kaum? Kalau semua isteri Nabi Muhammad sudah menjadi ibu, sudah tentu beliau sendiri sudah menjadi bapak. Tetapi tentang beliau menjadi bapak, ditidakkan dan dibatal­kan oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rija­likum” Muhammad itu bukan­lah bapak dari salah seorang laki­laki kamu. Apakah ini tidak menjadi satu keraguan? Apakah itu tidak satu pertentangan, atau satu kontradiksi, atau satu ta’arrudh namanya. Tidakkah ini menjadi satu celaan pula terhadap Quran? Apakah ini tidak bertentangan dengan ayat “La raiba fihi hudan lil muttaqin”? Jika benarlah Nabi Muhammad itu tidak boleh dipanggilkan se­bagai bapak karena beliau tidak mempunyai seorang anak laki­laki pun yang hidup sampai dewasa, dan tidak boleh pula seorang laki-laki pun menisbahkan membangsakan dirinya kepada Nabi Muhammadsaw, tentu tidak benar pula apa yang difirmankan Tuhan terhadap musuh beliau “Inna syaniaka hual abtar” Yang putus keturunannya ialah musuh-musuh engkau. Kalau Nabi Muhammad tidak boleh dikatakan bapak, maka samalah nasib beliau dengan nasib musuh beliau sama-sama tidak mempunyai keturunan lagi. Meskipun beliau ada mempunyai anak perempuan, tetapi itu tidaklah masuk bilangan dan yang dihitung adalah anak laki-laki. Jalan Keluar Sebagai jalan keluar dari persoalan yang rumit musykil ini, untuk menghilangkan segala macam keraguan itu, maka didatangkanlah perkataan “lakin” dan di belakang perkataan “lakin” disusulkan perkataan “rasulullah”. Kenapa disusulkan oleh perkataan “rasulullah” dan apakah hikmahnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah simak apa yang dikatakan oleh yang Hadhrat Nawab Siddiq Hasan Khan dalam tafsir Fathul Bayan yang keterangannya dikutip dari Nafsi. Dalam Nafsi diterangkan “Wakullu rasulin abu ummatihi fima yar­ji’u ila ujubit tauqiri lahu alai­him. Wawujubisy syafqati wan­nasihati lahum alaihi”. Telah berkata Nafsi Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Wajib bagi ummat menghormati dan memuliakan­nya. Dan wajib pula bagi nabi berlemah lembut dan menasehati mereka. Dalam Jamal Syarah Jalalain ada tertulis “Wakullu rasulin abu ummatihi”. Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak ummat­nya. Tersebut dalam Tafsir Khazin, jilid 5, halaman 219 “Inna kul­lu rasulin hua abu umatihi”. Tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Penjelasan Dengan mendatangkan perkataan “rasulullah” sesudah per­kataan “lakin” sekarang mulalah cerah cuaca gelap yang ditimbulkan oleh hal tidak diakuinya Nabi Muhammad saw. oleh Tuhan sebagai bapak dari salah seorang laki-laki, karena bapak yang dimaksud oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, adalab bapak secara jasmani dan bukan bapak secara rohani. Bahwa beliau sebagai bapak rohani, tetap diakui, karena beliau adalah seorang Rasul Allah dan Rasul Allah itu, adalah bapak dari umatnya, yaitu bapak rohani. Tambahan lagi ayat 7 yang mengatakan “wa azwajuhu umma­hatukum” semua isteri beliau adalah ibu mereka, yaitu ibu bagi orang-orang mukmin, yang dimaksudkan ibu disini adalah ibu rohani, bukan ibu jasmani. Dengan penjelasan ini, maka maksud bagian kedua dari ayat “ma kana Muhammadun” tadi sudah jelas sekarang, yaitu 1Bahwa Nabi Muhammad itu bukanlah bapak menurut arti jasmani, tetapi beliau adalah bapak dalam arti rohani. 2Isteri-isteri beliau kesemuanya bukanlah ibu dalam arti jasmani, tetapi beliau itu adalah ibu dalam arti rohani pula. Dengan jalan begini, tidak ada kontradiksi lagi antara ayat 7 dengan ayat 41. Dengan keterangan ini, hilanglah semua keraguan serta kesamaran yang timbul pada ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum” dan semua keraguan serta kesamaran itu dilenyapkan oleh perkataan “lakin” yang dipergunakan untuk istidrak. Tafsir ayat bagian ketiga Bagian ketiga dari ayat tadi adalah “khataman nabiyyin”. Orang-orang mengatakan bahwa “khataman nabiyyin” itu adalah penutup nabi-nabi, penghambat bagi kedatangan nabi, nabi yang penghabisan, nabi yang terakhir, penutup rantai kenabian dlsb. Sekarang marilah kita periksa, apa arti yang sebenarnya dari “khataman nabiyyin” itu, apakab hubungan antara ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Kalau ayat “khataman nabiy­yin” itu diartikan dengan arti yang tersebut di atas, adakah ia sesuai menurut mahal atau tempat? Perkataan “khataman na­biyyin” bukanlah satu kalimat atau sentence yang dapat dikatakan, bahwa ia dengan secara langsung dipergunakan untuk menjawab satu pertanyaan, dan ia mempunyai satu pengakuan. Tetapi ia adalah satu mufrad atau singular yang tanpa hubungan dengan yang sebelumnya tidak mempunyai arti apa-apa. Dan untuk satu hukum, ia tidak dapat menentukan. Sekarang yang harus kita perhatikan, apakah ia terpisah letaknya dalam kalimat, ataukah ia terikat dengan kalimat yang sebelumnya. Perhatikanlah tentang waw’athaf Untuk mengetahui bahwa perkataan “khataman nabiy­yin” itu bukanlab satu kalimat atau sentence yang berdiri sendiri, dan ia mempunyai hubungan dengan kalimat yang sebelumnya, adalah mudah sekali, karena sebelum perkataan “khataman nabiyyin” terdapat satu huruf yang disebut huruf athaf, yaitu waw. Huruf athaf ini kerjanya untuk menyatukan, atau untuk memperhubungkan antara satu bagian kalimat atau satu perkataan dengan bagian kalimat atau dengan perkataan lain dalam sebuah kalimat, yang dalam grammar bahasa Inggeris dapat disebutkan conjuction. Perkataan atau bagian kalimat yang terletak di belakang “waw” ini tidak dapat memi­sahkan diri dari perkataan atau kalimat yang terletak sebelumnya. Di waktu kalimat itu berbentuk satu jumlah sekalipun, yang ada mempunyai tanggung jawab, ia tidak dapat mengasingkan dirinya dari kalimat sebelumnya, konon pula lagi ketika ia berbentuk mufrad atau singular. Ringkasnya, sebelum perkataan “khataman nabiyyin” ada “waw” yang dikatakan huruf athaf. Arti athaf ialah memalingkan dan mengembalikan. Huruf athaf adalah satu huruf yang memalingkan atau mengembalikan. Kalimat atau perkataan yang terletak di belakangnya dinamai “’Ma’thuf”, dan kalimat atau perkataan yang sebelumnya dinamai “ma’ thuf alaih”. Huruf “waw” memutar kalimat atau perkataan yang di belakangnya dan mempersatukannya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Keadaan apa yang terjadi pada kalimat atau pada perkataan yang sebelumnya, jadi pula pada kalimat atau perkataan yang ada di belakangnya, dan hukum kedua kalimat itu di­satukannya, yakni kedua kalimat itu dijadikannya menjadi satu corak. Apa yang dinisbahkan kepada yang pertama, dinisbahkannya pula kepada yang kedua. kita ambil contoh sebuah misal, yaitu “Ja-a Zai­dun wa’ Umarun” Telah datang si Zaid dan si Umar. Antara perkataan Zaid dan Umar, terdapat huruf “waw” yang dinamakan huruf athaf dan arti “waw” itu “dan”. Maksud dan fungsi “waw” itu mengembalikan, membalikkan, memutar Umar kepada Zaid. Kedua-duanya, Zaid dan Umar, sama-sama dijadikan berkongsi dalam satu pekerjaan, yaitu datang. Sebagaimana kerja Zaid “datang”, begitu pula kerja Umar “datang”. Pekerjaan “datang” adalah perbuatan Zaid dan Umar. Satu misal lagi “Dharabtu Zai dan wa Umaran” Saya telab memukul Zaid dan Umar. Dalam kalimat ini penanggungan Zaid dan Umar adalab sama, yaitu sama-sama kena pukul. Tidaklah mungkin Zaid saja yang kena pukul, sedangkan Umar tidak. Tegasnya huruf “waw” adalah semacam huruf yang menyatukan hukum antara kalimat atau perkataan yang di belakangnya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Tidaklah bisa jadi dan tidaklah mungkin, bahwa atau perkataan yang sebelumnya lain maksudnya, dan kalimat atan perkataan yang di belakang lain pula maksudnya. Sekarang marilah perhatikan ayat khataman nabiyyin bagian ketiga dari pembagian tadi, dan apakah hubungannya dengan ayat wa lakin rasulullah, yang termasuk dalam bagian kedua dari ayat itu? Oleh karena antara ayat rasulullah dan ayat khataman nabiyyin terdapat “waw athaf” yang mengembalikan dan yang mempertemukan perkataan khataman nabiyyin dengan perkataan rasulullah, maka untuk apa perkataan rasulullah itu dipergunakan, untuk itu pulalah perkataan khataman nabiyyin itu dipergunakan. Tidaklah mungkin bahwa perkataan rasulullah itu dipergunakan untuk suatu maksud tertentu, tetapi perkataan khataman nabiyyin datang untuk membatalkan maksud itu. Sudah pastilah., bahwa apa yang sedang ditentukan oleh perkataan rasulullah, dikuatkan oleh perkataan khataman nabiyyin. Dalam uraian di atas tadi sudah diterangkan, bahwa perkataan rasulullah yang terdapat pada ayat yang sedang dibicarakan gunanya adalah untuk menyatakan, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah seorang bapak dalam segi kerohanian, yaitu beliau adalah bapak bagi kese­luruhan orang-orang mukmin. Manakala sudah jelas apa yang dimaksudkan oleh perkataan rasulullah, yaitu bapak rohani, sudah pasti bahwa kedatangan perkataan khataman nabiyyin dalam ayat ini adalah gunanya untuk menyempurnakan maksud dari perkataan rasulullah itu. Satu hal yang tidak mungkin, bahwa kepada ma’thuf alaih dinisbahkan satu ketentuan yang tertentu, tetapi kepada ma’thuf dinisbahkan hal yang lain. Ti­daklah mungkin, bahwa apabila dikatakan “Ja-a Zaidun wa Umarun” telah datang si Zaid dan si Umar, terhadap Zaid dinisbahkan perkataan datang, tetapi terhadap si Umar dinisbahkan perkataan duduk. Wallauhua’alam Ber­sambung. Konsep yang Sebenarnya mengenai Khataman Nabiyyin Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil aziiz Jumat, 13 Oktober 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين. مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki dari antara kalian, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin; dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” Al-Ahzab 3341 Di Pakistan, para Politisi dan para Ulama dari masa ke masa beromong-kosong dalam hal yang mengada-ada dalam penentangan terhadap Ahmadiyah dengan memunculkan dasar pemikiran berlandaskan satu argumentasi atau yang lainnya. Sebab, mereka beranggapan itu cara yang amat murah untuk menarik orang-orang, meyakinkan publik tentang posisi mereka dan demi meraih suara. Senjata terbesar yang mereka gunakan demi menghasut orang-orang Muslim ialah senjata isu Khatamun Nubuwwah. Setiap kali sebuah Partai Politik keadaannya menurun atau seorang politisi menghadapi situasi sulit atau sebuah organisasi keagmaan berusaha mendapat suara di kursi politik atau demi membuat turun suara partai lain atau politisi lain yang lawan mereka maka mereka mengaitkan orang itu dengan Ahmadiyah dalam satu atau lain cara dengan mengatakan, “Perhatikanlah! Betapa jahatnya mereka karena membawa orang-orang Ahmadi kedalam sebuah Republik Muslim.” Sebab, mereka menyangka para Ahmadi mengingkari Khatamun Nubuwwah. Mereka yang menyangka dirinya membela Islam berkata, “Kami takkan membiarkan kehormatan rasulullah saw tercoreng. Takkan kami biarkan kejahatan ini. Betapa jahatnya menamai para Ahmadi itu sebagai orang Islam!” Tatkala mereka mengumumkan akan mengorbankan diri mereka dan jiwa mereka di jalan ini, partai lain tidak berusaha – sehingga walau dengan tangan kekuasaan – kecuali menjalankan para anggotanya di Parlemen agar membuat pernyataan, “Tidak mungkin para Ahmadi mendapatkan sesuatu haknya.” Bahkan, Pemerintah mengumumkan bahwa para Ahmadi hendaknya dicabut hak-haknya dari yang paling sederhana yang mereka nikmati itu dalam keadaan sebagai warga Negara Pakistan. Meski hak-hak ini seperti hak-hak warga Negara kelas tiga. Setiap Partai bekerja demi mencapai rencana politiknya dan tujuan perseorangannya dan itu tidak ada hubungannya dengan Ahmadiyah. Mereka menggiring para Ahmadi dalam kasus ini karena mengangkat isu Ahmadiyah adalah isu yang paling mudah. Para anggota Partai Pemerintah dan Partai penentang Pemerintah oposisi muncul dan berbicara yang memusuhi Ahmadiyah dengan bebasnya. Inilah apa yang kita saksikan terjadi di Parlemen Nasional Pakistan ketika sebuah partai politik, atau lebih tepatnya Partai pemerintah, mencoba membuat perubahan kata-kata dalam konstitusi untuk mencapai kepentingannya. Telah terjadi kegemparan di media akhir-akhir ini di Pakistan. Masalah ini sekarang telah diungkap ke seluruh dunia. Saya tidak ingin menjelaskan dengan rinci di kesempatan ini. Sejauh menyangkut Jemaat Ahmadiyah, kita tidak pernah meminta kepada kekuatan asing untuk campur tangan di Pakistan demi membuat perubahan dalam Undang-Undang Pakistan dan memberi kita status sebagai “Muslim” di hadapan hukum dan konstitusi tersebut. Kita juga tidak pernah mengiba kepada pemerintahan Pakistan mana pun untuk hal tersebut. Kita tidak memerlukan sertifikasi dari Lembaga Legislatif atau pemerintah mana pun di dunia demi dianggap sebagai Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena kita memang Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena memang kita adalah Muslim. Allah Ta’ala dan juga Rasulullah saw yang telah menamai kita sebagai umat Muslim. Kita mengucapkan Kalimah Syahadat, tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad ialah Rasul Allah, kita mempercayai semua rukun Iman dan rukun Islam, mengimani al-Quran dan mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Quran, dan telah saya tilawatkan ayat al-Qur’an tersebut beberapa saat lalu. Kita secara tegas dalam corak bashirah membuktikan bahwa Sayyiduna Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam ialah Khatamun Nabiyyiin. Bahkan Hadhrat Masih Mau’ud as dengan jelas dan gamblang menulis di banyak tempat, “Seseorang yang menyangkal Khataman Nabiyyin, saya menganggapnya sebagai orang yang tak beragama dan di luar dari daerah Islam. Ia bukanlah seorang Ahmadi, bukan juga orang Islam.” Oleh karena itu, ini adalah bentuk kerusuhan kekacauan yang mereka ciptakan untuk menentang kita, dan ini merupakan fitnah yang mereka tuduhkan terhadap kita, bahwa kita mengingkari Khataman Nabiyyin, dan kita Naudzubillah tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Ini merupakan fitnah yang sangat keji. Tuduhan ini ditujukan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan Jemaat Ahmadiyah sejak pendakwaan beliau as. Setiap kali para penentang ingin mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri, mereka pun membuat kehebohan dan kembali melontarkan tuduhan ini di suatu waktu dan waktu yang lain. Dalam salah satu pidatonya, Hadhrat Khalifatul Masih II ra bersabda, “Ini adalah fitnah yang dituduhkan terhadap kita, dan kita harus memberitahukan mereka akan ketidakbenaran tersebut dengan mengatakan bahwa kita tidak menolak konsep Khataman Nubuwwat, karena kita membaca, mempercayai dan mengimani al-Quran. Dan al-Qur’an menyatakan bahwa Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Bahkan ulama bukan Ahmadi mengajukan kritik – inilah yang mereka ajarkan kepada orang-orang awam. Untuk itu mereka ulang keberatan ini. Bahkan, disebabkan sarana komunikasi dan media para Ulama dari Negara lain dipengaruhi oleh orang-orang yang disebut ulama dan cendikia dari Pakistan ini – mengatakan, naudzubillah, Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran dan menganggap wahyu-wahyu yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad lebih tinggi dan mulia daripada al-Quran.” Banyak orang Arab yang setelah menemukan kebenaran, baiat bergabung kedalam Jemaat Ahmadiyah, mereka pun bercerita, “Saat kami bertanya kepada para ulama kami perihal Ahmadiyah, mereka mengatakan Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran, Ahmadiyah memiliki Al-Qur’an yang lain atau Kitab selain al-Quran, tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai nabi terakhir malah mempercayai Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir, tempat berhajinya berbeda bahkan Ahmadiyah tidak naik Haji, Qiblat-nya berbeda dan shalatnya tidak menghadap Ka’bah. Ketika kami meneliti akan hal tersebut, kebohongan mereka pun terbongkar. Tapi disebabkan kebohongan mereka tersebut tentang Ahmadiyah dan tuduhan batil mereka, malahan itu menjadi sarana banyak orang menerima Ahmadiyah.” Para ulama itu secara tidak langsung – dari satu segi – telah melakukan tabligh kepada kami dengan kedustaan mereka itu. Bagaimana mungkin kita tidak mengimani Al-Qur’an dan tidak mempercayai Rasulullah saw adalah Khataman-Nabiyyin padahal di suatu ketika wahyu yang diterima Hadhrat Masih Mau’ud as menyampaikan bahwa al-Quran ialah Kitab Allah dan memandangnya sebagai mata air dari segala kebajikan serta di dalam Kitab itu disebutkan bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Salah satu wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as al-khairu kulluhu fil qur’aan “Setiap kebajikan terdapat dalam al-Quran Karim.” Sejurus dengan itu, beliau as bersabda, “Orang-orang yang memuliakan al-Quran, akan dimuliakan di langit.” Tidak pernah satu kali pun di mana pun beliau as pernah menyampaikan untuk memuliakan ilham-ilham beliau. Bahkan, ilham-ilham beliau as tersebut tunduk terhadap al-Quran. Wahyu-wahyu tersebut tidak memiliki kedudukan secara independent atau berdiri sendiri. Tiap-tiap kebaikan yang kita cari dan tiap-tiap petunjuk yang kita inginkan dalam soal agama atau sosial, kita dapatkan dari Al-Qur’an. Banyak wahyu beliau as yang menjelaskan hal itu dan menyebutkan tema ini. Demikian juga ada kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as yang tak terhitung jumlahnya tentang Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Sebagaimana dalam salah satu ilham yang beliau terima menyebut kata khatamun nabiyyiin, “صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ سَيدِ ولدِ آدَمَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ” Shalli alaa Muhammadin wa aali Muhammadin sayyidi waladi Aadama wa khaatamin nabiyyiin’ – “Bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, Majikan segenap anak keturunan Adam dan Khatam para nabi.” Ilham ini berulang dua atau tiga kali di berbagai tempat yang berbeda. Ada juga ilham lain, كل بركة من محمد صلى الله عليه وسلم ’Kullu barakatin mim Muhammadin shallaLlahu alaihi wa sallam’ – “Setiap keberkatan berasal dari Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam”. Selanjutnya beliau as menulis dalam kitab beliau, Tajalliyat Ilahiyyah Manifestasi Ilahi, “Jikalau saya bukan umat beliau saw dan mengikutinya, meski amal kebajikanku sebesar gunung-gunung di dunia, pastilah saya tidak akan pernah menerima kehormatan mukaalamah dan mukhathabah bercakap-cakap dengan Tuhan. Hal demikian karena segala bentuk kenabian yang lainnya telah berakhir kecuali kenabian Muhammad saw.” Oleh karena itu, Hadhrat Masih Mau’ud as pun tunduk mengikuti Rasulullah saw dan ilham-ilham beliau pun tunduk mengikuti al-Quran dan merupakan penjelasan dari al-Quran. Apabila kita, naudzubillah, menganggap wahyu-wahyu beliau as lebih tinggi dari al-Quran, lalu mengapa hari ini kita harus berkorban harta dan tenaga demi menerbitkan al-Quran dan terjemahannya di dunia seluruhnya, bukannya menerbitkan wahtu-wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as. Sampai detik ini al-Quran sudah diterjemahkan dan diterbitkan kedalam 75 tujuh puluh lima bahasa, sedangkan terjemahan kedalam beberapa bahasa lainnya terus dikerjakan dan Insya Allah, akan segera diterbitkan. Kita juga menerbitkan buku terjemahan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an dalam 111 bahasa. Negara-negara Islam dan organisasi-organisasi Islam yang kaya raya perlu membuat statement bahwa sudah berapa banyak kah al-Quran yang mereka terjemahkan dan terbitkan kedalam berbagai bahasa yang berbeda? Kita-lah para Ahmadi yang memahami makna dan ruh sebenarnya dari Khataman Nabiyyin, dan kita-lah para Ahmadi yang mempublikasikan pengumuman dari Allah Ta’ala bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin melalui terjemahan Al-Qur’an ke berbagai bahasa di seluruh dunia. Kendati demikian orang-orang tersebut yaitu para penentang Jemaat, naudzubillah, tetap menuduh Ahmadiyah menolak dan tidak mengakui Khataman Nubuwwat. Hadhrat Masih Mau’ud as mengajarkan kepada kita arti dan makna Khataman Nubuwwat, dimana orang-orang yang mengklaim diri mereka penjaga Khataman Nubuwwat tersebut bahkan tidak mampu memahaminya. Menanggapi kesalahan pemahaman orang-orang yang menuduh kita tidak menganggap Nabi Muhammad saw adalah خاتم النبيين Penghulu para Nabi, beliau as bersabda, “Anda harus ingat, kritik terhadap Jemaat saya dan saya sendiri bahwa kami tidak menganggap Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin adalah tuduhan yang sungguh tidak benar. Kami percaya dan meyakini Nabi Muhammad saw sebagai Khatamul Anbiya dengan keyakinan, kekuatan, ma’rifat dan bashirah keakuratan yang sedemikian kuat yang bahkan orang-orang selain kami tidak mencapai 1/ bagian darinya. Mereka bahkan tidak memiliki keberanian yang demikian untuk memahami realitas dan rahasia yang terkandung dalam makna finalitas Kenabian sang Khatamun Nabiyyiin Nabi Muhammad saw. Mereka hanya mendengar istilah dari nenek moyang mereka tetapi tidak menyadari kenyataannya. Mereka tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Khatamun Nubuwwah dan apa pengertian beriman kepada beliau saw. Namun, kami mengimani bahwa Nabi Muhammad saw adalah Khatamun Nabiyyiin dengan ketepatan pandangan hal mana diajarkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah telah mengungkapkan pada kami mengenai realitas sesungguhnya Khatamun Nabiyyiin sehingga mata air pemahaman yang menyeluruh diminumkan untuk konsumsi kita, sehingga kita mendapatkan perasaan suka cita yang unik. Tidak ada yang bisa punya pemikiran tentang hal itu kecuali bagi mereka yang diairi oleh mata air ini.” Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Allah Ta’ala telah menganugerahi kita dengan Nabi yang merupakan خاتم المؤمنين Khatamul Mu-miniin, yang terbaik dari orang-orang beriman, خاتم العارفين Khatamul Aarifiin, yang terbaik dari semua orang arif berpengetahuan dan خاتم النبيين Khatamun Nabiyyiin, yang terbaik dari para Nabi. Demikian pula, kitab yang diturunkan kepada beliau merupakan cakupan komprehensif dan yang terbaik dari semua kitab jami’ul kutub dan khatamul kutub. Jadi, kenabian termateraikan pada Nabi Muhammad saw yang merupakan خاتم النبيين Penghulu para Nabi. Tapi, itu tidak berakhir seperti halnya seseorang dihabisi dengan mencekik tenggorokannya. Akhir yang demikian tidaklah layak dibanggakan. Makna Khatamun Nubuwwah pada Nabi Muhammad saw artinya bahwa sifat-sifat kesempurnaan kenabian secara alami berakhir pada beliau. Berbagai mukjizat yang secara individual diberikan pada para Nabi dari Adam as sampai Isa Yesus putra Maryam as semua terkumpul dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw secara alami menjadi layak atas gelar Khataman Nabiyyin. Begitu juga, bahwa kumpulan ajaran, bimbingan dan pengetahuan yang ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya berakhir dengan diwahyukannya Al-Quran. Ini adalah bagaimana Al-Quran kemudian menjadi خاتم الكتب khatamul kutub yang terbaik dari semua Kitab.” Inilah hakikat yang tidak diketahui para penentang kita dan para Ulama yang tidak menghendaki kesalahpahaman perihal makna Khatamun Nabiyyin dihapus. Sebabnya, jika umat mereka tahu hal yang sebenarnya, tentu perdagangan agama’ yang mereka lakukan akan berakhir. Beliau as menjelaskan di tempat lain, “Saya ingin berkata sekali lagi mengenai Khatamun Nabiyyin bahwa makna terbesar makna dasar Khataman Nabiyyin adalah kualitas-kualitas kenabian yang dimulai dengan Adam memperoleh kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Inilah makna lahiriah yang jelas. Makna lainnya adalah wilayah ruang lingkup kesempurnaan kenabian telah berakhir pada Rasulullah saw. Saya katakan dengan sebenarnya bahwa al-Quran menyempurnakan semua ajaran sebelumnya yang belum sempurna, dengan demikian kenabian pun mencapai kesempurnaanya. Ajaran-ajaran yang diberikan oleh para Nabi sebelumnya belum mencapai tingkat tertinggi maka Al-Qur’an-lah yang menyempurnakannya dan Syari’at Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dengan itu kenabian pun telah sempurna. Maka dari itu, kesempurnaan yang dicapai manusia dengan keberkatan Al-Qur’an takkan tercapai usaha untuk mencapainya tanpa Al-Qur’an yang telah turun kepada Nabi Muhammad saw. Jadi, Islam ialah pembenaran dari firman Allah, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” Surah Al-Maaidah, 54 “Singkatnya, hal ini Khatamun Nabiyyin merupakan salah satu tanda Kenabian Rasulullah saw. Tidak perlu membahas perdebatan tentang bagaimana dan seharusnya hal itu. Prinsip-prinsipnya jelas, dan itu semua disebut fakta-fakta yang tetap. Tidak perlu orang beriman memperdebatkan di dalamnya, tapi dia harus percaya terhadap hal itu. Jika penentang mengajukan keberatan, kita bisa memberi mereka pemahaman. Jika tidak berhenti juga mereka, kita bisa mengatakan kepadanya untuk membuktikan kepada kita hal-hal cabang furu’ yang ada padanya. Singkatnya, meterai nubuatan adalah termasuk tanda satu tanda Kenabian Rasulullah saw, dan setiap Muslim harus percaya akan hal itu. keadaan beliau sebagai Khatamun Nabiyyiin merupakan keistimewaan dari keunggulan-keunggulan khusus yang ada pada bleiau saw. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, jika seseorang tidak percaya dengan Khataman Nabiyyin, maka Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan bahwa orang tersebut bukanlah seorang Muslim, dan keluar dari daerah Islam. Beliau as bersabda menjelaskan lebih lanjut kedudukan Khatamun Nubuwwah dan membuktikan kelebihan Islam dibanding seluruh agama “Pemahaman mengenai Khatamun Nubuwwah dapat sebagai berikut batas dan puncak yang mana dalil-dalil dan Ma’rifat ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian meraih akhirnya finalitasnya maka nama yang diberikan ialah Khataman Nabiyyin. Maka di luar itu, orang-orang yang mengkritik hal itu tidak lain adalah seorang yang tak ber-Tuhan yang beramal tanpa iman kepadanya. Dalam semua hal, penjelasan-penjelasan mendasarkan pemahamannya dan pengertiannya pada pengetahuan penuh dan cahaya penglihatan. Jika seseorang benar-benar sadar akan ilmu agama dan menerima cahaya dari Tuhan, maka ia dapat mengakomodasi hal-hal ini Pengutusan Nabi saw ialah demi penyempurnaan iman dan irfan, dan memberi berbagai bangsa lain cahaya terang dan mereka belum pernah dianugerahi hukum yang jelas dan mencerahkan. Jika mereka telah diberikan hal itu, apakah mereka dapat meninggalkan jejak apapun di Jazirah Arab? Seluruh bangsa belum pernah diberikan Syari’at sempurna dan Nabi-Nabi sebelumnya diutus untuk bangsa setempat saja. Beliau as menjelaskan jika itu sebagai bentuk dalil bahwa orang-orang Arab belum pernah mengetahui apa-apa soal Allah dan agama, mereka yang tahu sedikit dan mempunyai kontak dengan bangsa-bangsa lain juga tidak menerima Nabi karena mereka tidak memiliki cahaya penuh, jika agama-agama sebelumnya memiliki cahaya penuh, tentu itu mempengaruhi orang-orang Arab Matahari telah datang dari semenanjung Arab memberi nyala terang bagi semua orang dan melontarkan cahaya-cahayanya ke setiap penjuru desa. Ini adalah status Nabi saw sebagai siraaj muniir cahaya terang yang menerangi semua bangsa dan cahayanya mencapai ke segala tempat dan di setiap sudut dan di setiap kota Merupakan satu-satunya kebanggaan Alquran saja sehingga dia mampu mengatasi seluruh agama dunia mengenai isu monoteisme Tauhid dan kenabian. Masalah Tauhid dan kenabian yang dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran adalah bukti yang belum pernah diberikan pada agama sebelumnya, ini adalah makna penyelesaian syariah dan penunjukan Nabi sebagai Khatamun Nabiyyin. Merupakan dapat menjadi sebab kebanggaan umat Muslim bahwa mereka dianugerhi Kitab ini. Penyebab mereka yang keberatan dan menyerang ajaran-ajaran Islam dan petunjuk-petunjuknya adalah karena kegelapan batin dan ketiadaan keimanan mereka.” Islam ialah satu-satunya agama yang muncul dari Jazirah Arab dan bersinar terang ke seluruh penjuru wilayah di dunia serta masih saja ajaran hakikinya tersebar di dunia. Jemaat Ahmadiyah berusaha segenap kekuatan dan sarana guna menyebarluaskan kedudukan Tauhid dan Nubuwwah Kenabian di tiap Negara, desa dan di tiap lembah pemukiman di dunia. Kita ialah yang memiliki pemahaman benar mengenai Khatamun Nubuwwah dan Syariat yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Maka, hanya Hadhrat Masih Mau’ud as saja yang menjelaskan kepada agama-agama lain perihal kedudukan Nabi Muhammad saw. Bukan hanya itu saja, bahkan beliau bersabda, “Seluruh ajaran Nabi-Nabi sebelumnya telah diubah-ubah sampai derajat kedudukan mereka dan kebenaran mereka tidak menjadi jelas dari itu dan apakah mereka itu orang benar atau tidak. Merupakan jasa prestasi Nabi Muhammad saw yang menjelaskan hakikat para Nabi masa lalu dan kebenaran mereka. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Ajaran sempurna yang mendidik dan menanggung kualitas-kualitas kemanusiaan nan sempurna bukanlah ajaran yang menitikberatkan pada satu segi saja. Perhatikanlah apa yang dikatakan Injil, apakah yang dikatakan kemampuan-kemampuan kemanusiaan mengenainya? Kekuatan manusia dan fitrat kemanusiaan ialah Kitab Allah secara fi’li. maksudnya, kekuatan insan dan fitratnya merupakan penampakan secara amal perbuatan dari Kitab Allah Bagaimana mungkin Kitab Allah secara qauli, apa yang disebut Kitab Ilahi atau pengajaran Ilahi, bertentangan dengan kitab Allah secara fi’li? Yaitu, bimbingan dan pengajaran yang diturunkan Allah dalam Alquran, yang adalah Kitab-Nya secara qauli, tidak mungkin dapat bertentangan dengan pengajaran fithri bawaan dari kemampuan apapun yang telah diberikan Allah kepada manusia, bahkan jika bukan karena adanya Rasulullah saw, akhlak para Nabi sebelumnya dan ajaran-ajaran mereka, dan juga mukjizat-mukjizat mereka serta kekuatan kesucian mereka menjadi tempat kritikan saja. Namun, Nabi saw datang dan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang suci tak terlupakan dan membuktikan kebenaran mereka. Oleh karena itu, tanda-tanda kenabian beliau lebih mulia daripada matahari, dan ini tidak terhitung banyaknya. Keberatan terhadap kenabian Nabi saw atau tanda-tanda kenabiannya yang seperti hari yang cerah, ialah seperti orang buta yang bodoh yang mengatakan bahwa hari masih malam. Saya mengulangi bahwa jika Rasul kita Nabi Muhammad saw tidak diutus, niscaya agama-agama lain tetap berada dalam kegelapan, iman akan hancur dan bumi pun hancur dengan kutukan dan siksaan dari Tuhan. Islam seperti lilin yang bersinar yang juga membawa orang lain keluar dari kegelapan.” Jika kalian membaca Injil takkan kalian temukan kejelasan tentang ajaran Tauhid. Tidak diragukan bahwa tiap-tiap Kedua kitab itu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga datang dari Tuhan, sebagaimana keduanya benar-benar demikian, tetapi cahaya terang apakah yang dapat seseorang temukan di dalam kedua kitab itu? Cahaya hakiki guna mencapai keselamatan ialah Tauhid dalam Islam saja. Ambillah masalah Tauhid saja sebagai contoh, dimana saja Al-Qur’an menyingkapnya maka akan kita temukan bak pedang tajam yang merobek-robek Syirk. Demikian pula masalah Nubuwwah kenabian, semua segi jelas dan terang dapat kalian temukan dalam Al-Qur’an dengan tidak ada tambahan lagi.” Jadi, inilah ma’rifat pengetahuan mendalam mengenai Khatamun Nubuwwah yang telah disediakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Para Ulama masa kini menuduh-nuduh orang lain tapi tidak bisa mengungkapkan kepada agama-agama lain apa-apa kelemahan mereka atau membuktikan keunggulan Rasulullah saw. Melainkan, Jemaat Ahmadiyah yang berdiri demi memenuhi kewajiban ini sebagai hasil tarbiyat Hadhrat Masih Mau’ud as dan ajarannya. Meski demikian, kita dipandang sebagai orang-orang kafir di mata penentang kita, sementara mereka ialah orang beriman. Berkenaan dengan pendakwaan beliau, Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan “Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga menjadi orang sial yang menyatakan diri Rasul dan Nabi secara mengada-ada? Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga meragukan ayat, وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin’ sebagai firman Allah dengan berkata bahwa ia juga Rasul dan Nabi setelah Nabi Muhammad saw? Mereka yang berpikir adil obyektif harus ingat bahwa hamba yang lemah ini tidak pernah mendakwakan diri sebagai nabi atau rasul dengan makna hakiki. Penggunaan sesuatu kata secara majaaz dan dengan makna non hakiki sesuai makna-makna yang biasanya ditemukan dalam kamus, tidak membuat sebuah kekafiran. artinya, tidak menjadikan pengucapnya sebagai kafir Oleh karena itu saya tidak suka melakukan hal tersebut, sebab mungkin saja orang-orang yang awam bisa tertipu. Meskipun demikian, atas dasar kedudukan saya sebagai Ma-mur minaLlah mendapat perintah dari Allah, saya tidak bisa menyembunyikan Mukalamah dan Mukhatabah pembicaraan dan bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala yang Dia anugerahkan kepada saya. Dalam percakapan tersebut kata-kata Nabi dan Rasul banyak digunakan. karena Allah Ta’ala menggunakan kata-kata tersebut untuk memanggil beliau maka dari itu saya tidak bisa menyembunyikannya lagi. Saya sering mengatakan ini berkali-kali bahwa dengan segala hormat kata-kata Mursal dan Rasul yang digunakan dalam wahyu-wahyu tersebut tidak mengimplikasikan pada penggunaan makna hakiki. Hakikat yang saya nyatakan kepada umum ialah Nabi kita Muhammad Rasulullah saw adalah Khatam para nabi, dan setelah beliau saw tidak akan muncul Nabi baik yang lama maupun yang baru. Siapa yang mengatakan setelah Rasul kita dan Majikan kita saw ada Nabi atau Rasul dalam wajah hakikat, dengan mengada-ada, dengan meninggalkan Al-Qur’an dan hukum-hukum Syariat maka ia kafir dan pembohong.” Ringkasnya, kami beriman bahwa seseorang yang benar-benar menyatakan kenabian dengan memisahkan diri dari aliran berkah-berkah Nabi Muhammad saw dan jauh dari sumber suci dan sejuk tersebut guna menjadikan dirinya Nabi Allah maka berarti orang itu Mulhid Ateis. Kemungkinan besar orang pendakwa semacam itu akan membuat-buat Syahadat baru, menciptakan cara-cara ibadah baru dan mengubah hukum-hukum. Tidak diragukan lagi bahwa ia menjadi saudara dari Musailamah nan pembohong, tidak ada duanya dalam kekafirannya dan bagaimana mungkin benar perkataannya bahwa ia beriman pada Al-Qur’an?” Orang yang tidak keluar dari ketaatan kepada Nabi Muhammad saw bahkan mengikuti Syariat beliau saw maka menjadi mungkin mendapat kemuliaan dari Allah dengan kehormatan ini dan tidak mungkin selainnya mendapat kehormatan ini. Begitu pula seseorang yang keluar dari ketaatan terhadap beliau saw tidak dapat dianggap sebagai Muslim. Selanjutnya, beliau as menjelaskan hal ini lebih lanjut, “Kami orang Muslim…kami beriman kepada Kitab Allah, al-Furqaan nama lain Al-Qur’an. Di kalangan umat ini terdapat banyak Wali yang mana Allah Ta’ala bercakap-cakap memberi wahyu dan ilham kepada mereka. Mereka dianugerahi celupan warna kenabian meski pada kenyataannya mereka bukan Nabi. Sesungguhnya Al-Qur’an ialah Syariat sempurna. Mereka tidak dianugerahi kecuali dengan pemahaman Al-Qur’an. Mereka tidak menambah dan mengurangi darinya. Siapa yang menambah atau mengurangi dari Al-Qur’an maka ia termasuk setan yang celaka.” Kemudian beliau as menyebutkan mengenai keberkatan kedudukan khatamun nubuwwah Nabi Muhammad saw “نؤمن بأن سيدنا محمدًا نبيُّه ورسوله، وأنه جاء بخير الأديان. ونؤمن بأنه خاتم الأنبياء لا نبي بعده، إلا الذي رُبِّيَ مِن فيضه وأظهرَه وعدُه…. nu-minu bi anna sayyidana Muhammadan nabiyyuhu wa rasuuluh, wa annahu jaa-a bi khairil adyaan. Wa nu-minu bi annahu khaatamul anbiyaa-i laa Nabiyya ba’dah, illalladzii rubbiya min faidhihi wa azhharahu wa’duhu’ – “Kami beriman bahwa junjungan kami, Muhammad, adalah Nabi-Nya dan Rasul-Nya, dan beliau datang dengan sebaik-baik agama. Dan kami beriman bahwa beliau adalah khaatamul anbiyaa-i penghulu para Nabi, tiada Nabi setelah beliau, terkecuali yang dididik dari karunia jasa beliau dan ia muncul sesuai dengan janji beliau saw…” Sebagaimana juga Hadhrat Masih Mau’ud as dididik dengan ajaran beliau saw dan muncul sesuai nubuatan dari beliau saw ونعني بختم النبوة ختم كمالاتها على نبينا الذي هو أفضل رسل الله وأنبيائه، ونعتقد بأنه لا نبي بعده إلا الذي هو من أمّته ومن أكمَلِ أتباعه، الذي وجد الفيضَ كله من روحانيته وأضاء بضيائه… “Dan kami memahami mengenai khatmun nubuwwah ialah bahwa kesempurnaan-kesempurnaan keNabian telah khatam tersahkan pada Nabi kita, yang adalah termulia dari antara para rasul dan Nabi Allah, dan kita berkeyakinan bahwa tidak ada Nabi setelah beliau saw, kecuali yang mana ia itu dari umat beliau dan termasuk sempurna dalam mengikuti beliau saw, yang mana ia Nabi itu mendapatkan faidh karunia semuanya dari kerohanian beliau saw dan tersinari dari sinar terang beliau saw…” وهذا هو الحق الذي يشهد على بركات نبينا، ويري الناسَ حُسْنَه في حُلل التابعين الفانين فيه بكمال المحبة والصفاء، ومن الجهل أن يقوم أحد للمِراء، بل هذا هو ثبوت من الله لنَفْيِ كونِه أبتَرَ، ولا حاجة إلى تفصيل لمن تدبَّرَ. “Dan, inilah yang benar yang mana ia Nabi yang datang dari umat beliau saw itu bersaksi atas keberkatan-keberkatan Nabi kita, dan ia memperlihatkan kepada umat manusia keindahan beliau saw dalam jubah sebagai pengikut nan fana atas beliau saw dengan kecintaan yang sempurna lagi suci bersih, dan adalah termasuk kebodohan bagi seseorang yang berdiri untuk mencela hal ini; bahkan lebih dari itu, keyakinan kami ini menjadi dalil-dalil untuk menyangkal pendapat bahwa beliau saw adalah abtar tak berketurunan rohani; dan tak perlu penjelasan rinci bagi mereka yang mau merenungi dan menelaah lebih dalam.” وإنه ما كان أبا أحد من الرجال من حيث الجسمانية، ولكنه أب من حيث فيض الرسالة لمن كمّل في الروحانية. وإنه خاتم النبيين وعَلَمُ المقبولين. ولا يدخُل الحضرةَ أبدا إلا الذي معه نقشُ خاتمه، وآثار سنته، ولن يُقبَل عمل ولا عبادة إلا بعد الإقرار برسالته، والثباتِ على دينه وملته. “Dan sesungguhnya beliau saw itu bukanlah bapak seorang laki-laki pun dalam corak jasmaniah, tetapi beliau saw adalah sebagai bapak dalam corak karunia risalah kerasulan bagi mereka yang menyempurnakan diri dalam kerohanian. Dan sesungguhnya beliau saw adalah khatamun Nabiyyiin penghulu para Nabi dan alamul maqbuuliin Tanda kategori orang-orang yang diterima Ilahi. Tiada satu pun yang dapat masuk menghadap al-Hadhrat Yang Mulia lagi Maha Tinggi, Tuhan selama-lamanya kecuali dia yang padanya terdapat cap stempel pengesahan beliau saw, jejak-jejak sunnah kebiasaan beliau saw, dan tidak akan diterima sesuatu amal perbuatan dan juga ibadah kecuali setelah mengakui dan menerima risalah kerasulan, pengutusan beliau saw, dan tetap teguh atas agama dan ajaran beliau saw.” وقد هلك من تركه وما تبِعه في جميع سننه، على قدر وُسْعِه وطاقته. ولا شريعةَ بعده، ولا ناسخَ لكتابه ووصيته، ولا مبدِّلَ لكلمته، ولا قَطْرَ كمُزْنتِه. ومن خرج مثقالَ ذرّة من القرآن، فقد خرج من الإيمان. ولن يفلح أحد حتى يتّبع كلَّ ما ثبت من نبينا المصطفى، ومن ترَك مقدار ذرة من وصاياه فقد هوى. “Dan hancurlah orang yang meninggalkan beliau saw dan tidak mengikuti beliau dalam segala sunan kebiasaan, perilaku beliau saw, sesuai kemampuan kelapangan dan kekuatannya. Dan, tidak ada syariat lagi setelah beliau saw; dan tidak ada yang dapat menghapus kitab beliau saw dan wasiat beliau saw; dan tidak ada yang mengubah kalimat beliau saw; dan tidak ada cucuran air hujan [karunia] yang sebanding dengan beliau saw; dan siapa yang keluar sejarak satu dzarrah saja dari al-Qur’an, maka ia telah keluar dari wilayah keimanan. Dan tidak akan berjaya seseorang hingga ia mengikuti setiap yang terbukti jelas dari Nabi kita al-Mushthafa, dan siapa yang meninggalkan satu dzarrah saja wasiat beliau saw maka ia telah melampaui batas.” ومن ادّعى النبوة من هذه الأمة، وما اعتقد بأنه رُبّيَ من سيدنا محمدٍ خيرِ البريّة، وبأنه ليس هو شيئا من دون هذه الأسوة، وأن القرآن خاتم الشريعة، فقد هلك وألحَقَ نفسه بالكفَرة الفجَرة. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dari umat ini Islam, dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya itu dididik dari Nabi kita, Muhammad, sebaik-baik makhluk, dan dia anggap beliau saw tidak penting sebagai teladan, dan dia anggap tidak penting al-Qur’an sebagai khatamusy syari’ah, maka ia benar-benar telah rusak dan telah mengotori dirinya sendiri dengan kekafiran dan dosa.” ومن ادعى النبوة ولم يعتقد بأنه من أمته، وبأنه إنما وجَد كلَّ ما وجَد من فيضانه، وأنه ثمرة من بستانه، وقطرة من تَهْتَانِه، وشَعْشَعٌ من لمعانه، فهو ملعون ولعنة الله عليه وعلى أنصاره وأتباعه وأعوانه. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya dari umat beliau saw, ia tidak berkeyakinan ia telah memperoleh apa-apa yang ia dapatkan berasal dari keluhuran beliau saw; dan ia tidak berkeyakinan itu adalah buah dari kebun beliau saw; itu adalah butiran-butiran yang jatuh dari hujan lebat beliau saw, dan ia tidak berkeyakinan itu adalah seberkas tebaran sinar dari kilauan cahaya beliau saw, maka ia adalah mal’uun terkutuk, dan kutukan Allah atasnya, atas para penolongnya, atas para pengikutnya dan semua agen penyokongnya.” Jelas bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as dalam sabda ini tidak tengah mengutuk diri beliau sendiri dan Jemaat beliau. Melainkan, maksudnya beliau paham benar bahwa aliran-aliran berkah ruhaniah lebih banyak beliau peroleh dibanding orang-orang lainnya dengan melalui mengikuti Nabi Muhammad saw dan beliau mencapai martabat yang mana Allah memberi beliau kemuliaan dan kehormatan serta menjadikan beliau as sebagai Nabi yang mengikuti Nabi Muhammad saw dan tanpa syariat baru. Beliau as melanjutkan, لا نبيَّ لنا تحت السماء من دون نبيّنا المجتبى، ولا كتابَ لنا من دون القرآن، وكلُّ من خالفه فقد جرّ نفسه إلى اللظى”. Laa Nabiyya lanaa tahtas samaa-i min duuni Nabiyyina al-Mujtabaa, wa laa kitaaba lana min duunil Qur’aan, wa kullu man khaalafahu faqad jarra nafsahu ilal lazhzha.’ “Bagi kita tidak ada Nabi di bawah bentangan langit ini selain Nabi kita, al-Mujtaba Yang Istimewa, Nabi Muhammad saw dan tiada kita bagi kita selain al-Qur’an, dan setiap orang yang menentangnya maka ia telah melarikan jiwanya menuju api yang menyala-nyala.” Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan tempat yang tak terhitung dan menyebutkan kedudukan beliau dalam konteks ini dan bersabda bahwa jika umat Muslim teguh dalam agamanya dan mengikuti Nabi Muhammad saw secara benar tentu kedatangan beliau tidak diperlukan. Hadhrat Masih Mau’ud as telah berkali-kali menjelaskan makna dan kedudukan yang sebenarnya dari Khataman Nubuwwah, dan juga perihal kedudukan beliau yang sesungguhnya. Dalam satu tempat beliau bersabda “Dari segi permisalan duniawi, Khataman Nubuwwah itu seibarat bulan sabit yang pada empat belas hari kemudian secara berangsur-angsur mencapai tahap kesempurnaan yang disebut sebagai Badr. Demikian juga kualitas dan keunggulan kenabian mencapai kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Mereka yang mengimani secara paksa bahwa kenabian telah berakhir dan tidak perlu mengunggulkan Nabi Muhammad saw diatas Yunus ibn Mata, sebenarnya mereka tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Mereka tidak tahu keutamaan-keutamaan dan keunggulan-keunggulan Nabi saw. Meskipun kelemaham pemahaman mereka ini dan sedikitnya ilmu mereka ini, mereka menuduh kita mengingkari Khataman Nubuwwah. Mereka tidak paham Khataman Nubuwwah dan mereka menuduh kita menolak Khataman Nubuwwah Apa yang harus saya katakan kepada mereka yang sakit dan bagaimanakah saya berprihatin atas mereka? Jika mereka tidak sampai derajat ini dan tidak menjauh dari hakikat Islam, apa perlunya saya datang? Keimanan mereka telah amat melemah. Mereka tak paham pemahaman mengenai Islam dan tujuannya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada sebabnya mereka memusuhi orang benar dengan permusuhan yang sampai membuat yang memusuhi mengarah pada kekafiran.” Artinya, beliau as yang berada dalam kebenaran dan yang diutus oleh Allah serta mengimani Rasul itu Nabi Muhammad saw dengan keimanan sempurna dan meyakininya apakah ada hujjah dasar alasan untuk menentangnya? Tidak akan ada hujjah yang dapat menentang Al-Masih yang dijanjikan karena permusuhan terhadap seorang utusan ALlah menjadikan seseorang sebagai orang ingkar. Orang-orang yang mengkafirkan akan menjadikan dirinya keluar dari daerah Islam sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits Nabi Muhammad saw juga. Mereka yang menyebut kita kafir dan mendasarkan diri pada tuduhan-tuduhan ini maka tuduhan kafir mereka itu akan berbalik pada mereka. Kita katakan kepada umat Muslim yang mengucapkan dua kalimah Syahadat dengan penuh simpati, “Kasihanilah keadaan kalian. Perhatikanlah! Renungkanlah apa yang ALlah Ta’ala inginkan dari kalian dan apa yang Dia firmankan pada kalian.” Kutipan-kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud as yang saya sampaikan ini semoga menjadi wasilah sarana hidayah bagi umat Muslim yang baik dan membuat mereka merenungi keadaan diri mereka daripada fokus menuduh kita. Setelah pengajuan isu pembaharuan pengubahan di Majelis Nasional Pakistan mengenai perubahan pasal-pasal dalam konstitusi [diantaranya mengenai hak-hak orang Ahmadi menjadi anggota militer dilarang], beberapa hari kemudian seorang anggota parlemen membuat pidato yang isinya menghasut tanpa sebab. Pidato tersebut tidak hanya ditujukan untuk memanaskan perasaan para anggota majelis yang terhormat saja, namun juga mencoba untuk menyulut kemarahan masyarakat umum dan menyebabkan kekacauan di seluruh Negara, sehingga seluruh rakyat bangkit untuk memusuhi Ahmadiyah. Dia juga ingin membuktikan bahwa dia adalah seorang pemimpin dan sangat setia pada negara ini. Ia melakukannya untuk mendapatkan kehidupan politik baru, namun dia telah dikecam oleh beberapa orang bijak dari kalangan politisi, media dan bangsawan. Diharapkan sekelompok orang berjiwa mulia di Pakistan mulai muncul dan menaikkan suaranya terhadap tatanan yang salah dan mengatakan kepada orang ini tentang fakta dan kenyataan keberatan atasnya. Anggota Parlemen tersebut berkata, “Suatu keharusan kita untuk tidak menamai Departemen Fisika di Universitas Qaid-e-A’zham Pemimpin Besar, julukan untuk Pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah dengan nama Doktor Abdus Salam karena dia orang kafir dan tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah.” Anggota ini seharusnya berpikir bahwa yang melakukan penamaan tersebut adalah Perdana Menteri dan pemimpin partainya sendiri, dan tidak hanya itu, bahkan dia adalah ayah mertua dari anggota parlemen ini. Mengapa dia tidak menunjukkan sentimennya saat proses penamaan berlangsung, dan mengapa dia menunjukkannya sekarang? Apakah hanya karena partainya dituduh melakukan korupsi dan ia berpikir satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan meluncurkan pernyataan menentang Jemaat. Para Ahmadi tidak terpengaruh apakah kalian menamai lembaga sains itu dengan nama Dr. Abdus Salam atau tidak. Bahkan, orang terdekat almarhum Dr Abdus Salam, salah seorang putranya menulis kepada Perdana Menteri sebuah surat pada hari penamaan lembaga itu dengan nama ayahnya yang mana surat itu tidak pernah mereka tanggapi balas. Salah seorang putra Doktor Abdus Salam menulis namanya dan atas nama seluruh anak-anaknya dalam surat itu “Kami sangat heran bahwa pemerintah Pakistan baru ingat setelah dua puluh tahun kewafatan Dr Abdus Salam untuk menamai sebuah departemen dengan nama fisikawan terkenal ini.” “Konstitusi Pakistan menamai ayah saya sebagai non Muslim, dan ayah saya ini terkejut karena itu, tapi beliau tidak pernah menyerahkan kewarganegaraannya kebangsaannya sebagai warga Pakistan dengan menjadi warga Inggris, Italia dan bahkan India padahal ketiga Negara itu menawarinya pemberian kewarganegaraan, tetapi beliau menolak dan berkata Saya adalah seorang yang setia kepada Pakistan. Saya akan tetap setia kepadanya selamanya sebagaimana saya akan terus berusaha untuk kepentingan Pakistan, dan telah serta masih melakukannya.’ Singkatnya, anak-anak Dr Abdus Salam menulis surat kepada Perdana Menteri, “Kami adalah orang-orang Muslim dan terkait dengan Jemaat Ahmadiyah demi Allah Ta’ala saja dan kami mengimani Hadhrat Masih Mau’ud as, maka dari itu, kami, keluarga Dr Abdus Salam dan putra/inya berlepas diri dari keputusan pemerintah ini daripada bersukacita karena hak-hak kami dicuri di Pakistan serta akidah-akidah kami tidak diakui sebagaimana yang kami katakana tersebut di atas.” Ini adalah reaksi dari anak-anak Dr Abdus Salam. Jika parlemen Pakistan ingin mengubah nama lembaga tersebut silakan mengubahnya. Keluarga Dr. Abdus Salam atau Jemaat tidak peduli tentang hal ini. Pengkritik itu pun mengatakan, “Jangan mempekerjakan para Ahmadi dalam ketentaraan.” Padahal sejarah Pakistan hingga sekarang menjadi saksi bahwa para Ahmadi yang berdinas di ketentaraan semuanya berkorban demi negara mereka. Merupakan sebuah hal yang umum bahwa mereka yang mengorbankan jiwa ialah para tentara biasa atau perwira berpangkat rendah dari Kapten atau Mayor, namun para Ahmadi meski telah berpangkat Brigadir juga, mereka ikut bertempur di garis depan bersama para tentara dan disyahidkan juga. Media massa di Pakistan juga mengakui dan menulis, “Fakta-fakta telah jelas. Itu ialah tuduhan batil.” Lalu Media itu pun menginformasikan tentang Jenderal Akhtar, Jenderal Ali dan Jenderal Iftikhar yang telah disyahidkan gugur dalam pertempuran membela Pakistan. Adapun anggota Parlemen yang mengkritik ini dan menyampaikan pidato bodoh ialah seorang Kapten dalam ketentaraan lalu berhenti dari dinas ketentaraan karena ia menjadi tentara putra Perdana Menteri, berlomba mengumpulkan harta dan bergabung dalam politik. Jika ia benar-benar cinta tanah air maka seharusnya ia tetap dalam dinas ketentaraan dan berkorban demi negara. Tuduhan lain yang ditujukan terhadap Ahmadiyah adalah orang-orang Ahmadiyah tidak mengabdi pada negaranya serta tidak setia. Tapi saya bisa katakan dengan penuh keyakinan bahwa hari ini hanya para Ahmadi yang mengikuti dan mengamalkan ajaran حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ “Hubbul Wathani Minal Iman”. Di jalan itu, para Ahmadi bersedia mengorbankan jiwa dan harta mereka, dan sekarang sedang melakukannya. Para Ahmadi bukanlah seperti mereka yang berpidato untuk kepentingan politik. Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik melainkan kami siap mengorbankan hidup kami demi agama. Kami bukanlah orang-orang yang sibuk memunculkan pandangan kami ini demi keuntungan politis dan untuk itu mengorbankan tumpahnya darah atas nama agama. Kami percaya dengan sepenuh hati bahwa Hadhrat Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Untuk menjaga kehormatan beliau saw, kami siap mengorbankan diri kami, dan ini yang kami lakukan dan Insya Allah, kami masih dan akan terus berkorban. Adalah kewajiban para Ahmadi yang menetap di Pakistan agar berdoa semoga Allah Ta’ala melindungi Negara tempat para Ahmadi telah berkorban amat banyak untuknya dari sejak awal hingga sekarang. Semoga Allah Ta’ala menjaga negara tersebur dari pemerintahan tirani yang menindas dan dari para ulama yang mementingkan dirinya sendiri. Semoga Pakistan termasuk diantara Negara yang merdeka dan beradab di dunia. aamiin Penerjemah Dildaar Ahmad Dartono & Yusuf Awwab ________________________________ [1] Barahin-e-Ahmadiyya [2] Malfuzhat, jilid I, halaman 342, edisi 1985, terbitan UK [3] Malfuzhat, jilid I, halaman 341-342, edisi 1985, terbitan UK [4] Al-Hakam, jilid 3, nomor 1, hlm. 6-9 pada tanggal 10/1/1899 [5] مواهب الرحمن، الخزائن الروحانية المجلد 19، الصفحة 285-287 Mawahibur Rahman, Ruhani Khazain jilid 19, h. 285-287, terjemahan dari bhs Arab [6] Malfuzhat jilid 1. [7] Jenderal Akhtar Husain Malik, atas peranannya dalam perang India-Pakistan, hampir seluruh Kashmir jatuh ke tangan Pakistan pada 1965. Namun, komando beliau diganti di tengah-tengah kemenangan yang hampir penuh itu dan kembali Pakistan dipukul mundur tentara India; Jenderal Abdul Ali Malik, Jenderal yang berperan penting menahan laju dan memundurkan tentara dan tank-tank India yang tengah maju membelah Pakistan menjadi dua bagian. Selain mereka, berperan juga Brigadir Iftikhar Janjua, Jenderal Iftikhar Janjua, sejumlah Mayor dan Kolonel Ahmadi. Demikian pula, para Komodor dan pilot Ahmadi. [8] Menantu Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, yaitu Kapten

arti dari khataman nabiyyin adalah